Wednesday, November 25, 2009

Ali Murtopo dan Dunia Intelijen

Saya dengar pada tahun 1966, Ali Moertopo ditugasi oleh Pangkostrad Mayjen Soeharto untuk menjadi perwira penghubung untuk melaksanakan proses rekonsiliasi antara Indonesia-Malaysia. Operasi intelijen ini disebut Opsus (Operasi Khusus). Beserta Kolonel Ali Moertopo waktu itu antara lain Brigjen Kemal Idris dan Asisten I Kopur Kostrad LB Moerdani. Belakangan nama Opsus ini melembaga dan seakan-akan menjadi cap bagi segala kegiatan operasi intelijen, tidak saja di bidang militer, tetapi juga di bidang politik dalam dan luar negeri. [1]
[1] Lihat, Heru Cahyono, Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980: dari Pemilu sampai Malari, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992) hlm. 65.
Mungkin lantaran sudah percaya, sekali waktu sebagai Kepala Opsus itulah Ali Moertopo rupanya diserahi lagi tugas oleh Pak Harto, namun kali ini tugasnya ialah rekayasa politik yang dikenal pula dengan sebutan penggalangan (conditioning), rekaya dari atas (engineering from above).
Rekayasa politik pada waktu itu memang mutlak kita butuhkan karena Angkatan Darat menghadapi bahaya selain PKI, kekuasaan Bung Karno, dan juga masyarakat Nasakom. Kita ini saat itu boleh dikata berjuang sendirian, tak ada teman, sementara kekuatan-kekuatan yang anti-PKI –yakni PSI dan Masjumi—jauh sebelumnya sudah dibubarkan oleh Bung Karno.
Sementara dalam rangka memenangkan pemilihan umum 1971, Kino-Kino sendiri, khususnya yang tergabung dalam Trikarya, tidak tampak memainkan partisipasi aktif dalam proses kampanye. Sekber Golkar lebih banyak dikelola oleh kelompok Ali Moertopo, Hankam, dan Menteri Dalam Negeri; khususnya dua yang pertama.
Operasi-operasi Opsus bermanfaat dalam memperkuat Sekber Golkar. Pelaksanaan operasi biasanya dengan jalan interensi ke dalam rapat-rapat atau musyawarah partai, untuk kemudian “memanipulasi” konvensi-konvensi partai yang telah ada untuk menciptakan krisis kepemimpinan, sehingga pada gilirannya pemerintah berkesempatan mendorong kepemimpinan yang dianggap dapat bekerja sama dengan pemerintah. Operasi penggalangan oleh Opsus juga guna menjamin bahwa kelompok-kelompok yang mungkin dapat mengobarkan permusuhan, tidak memegang kendali organisasi yang masih dapat menghimpun dukungan besar.
Target pertama adalah partai nasionalis terbesar, PNI. Operasi yang dilakukan Opsus menghasilkan terpilihnya Hadisubeno, menyingkirkan Hardi yang dikenal sebagai pengecam peranan Dwifungsi ABRI. Lalu diikuti dengan rekayasa terhadap partai kecil IPKI dari kelompok nasionalis lainnya, sehingga kongres tahunan pada bulan Mei 1970 menghasilkan pimpinan yang pro pemerintah. Tindakan yang sama juga menimpa PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Kongres 22 Oktober 1970 berakhir dengan kekisruhan besar karena munculnya dua badan eksekutif sekaligus, yang salah satunya memperoleh dukungan dari Opsus. Operasi-operasi serupa dalam waktu hampir bersamaan ditujukan kepada IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan Persahi (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia).
Rekayasa terhadap kalangan Islam juga cukup terkemuka, yakni bagaimana Opsus melakukan rekayasa terhadap Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), wadah aspirasi politik golongan Islam modernis dengan basis masa dari bekas-bekas partai Masjumi. Sementara terhadap Islam tradisional dilakukan penggalangan melalui organisasi massa GUPPI (Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam) yang mana selanjutnya secara efektif menggarap massa Islam tradisional untuk ditarik masuk Golkar.
Terhadap Islam, pemerintah Orde Baru dan Angkatan Darat khususnya sejak awal menyadari mengenai kemungkinan naiknya pamor politik kekuatan Islam. Jatuhnya kekuatan ekstrim kiri PKI –yang kemudian secara formal diperkuat dengan keputusan pembubaran PKI—secara politis mengakibatkan naiknya pamor politik Islam sehingga terjadilah ketidakseimbangan (imbalance). Sayap Islam yang sedang mendapat angin kemudian cenderung hendak memperkuat posisinya. Padahal disadari oleh Angtakan Darat ketika itu bahwa di dalam sayap Islam masih terdapat bibit-bibit ekstrimisme yang amat potensial.
Sehingga policy umum militer ketika itu sebenarnya adalah menghancurkan kekuatan ekstrim kiri PKI, dan menekan (bukan menghancurkan) sayap Soekarno pada umumnya, sambil secara amat berhati-hati mencegah naiknya sayap Islam.Tugas Opsus adalah menyelesaikan segala sesuatu dengan cara mendobrak dan merekayasa sifatnya dalam waktu yang pendek lagi cepat. Misalnya tentang PWI. Kalau PWI waktu itu orientasinya masih ke Bung Karno, maka kita ubah pimpinannya. Seperti itu urusan Ali Moertopo.
Semua partai direkayasa dengan tujuan untuk membangun poros Pancasila, sehingga yang Nasakom dikeluarkan dari semua organisasi yang ada. Pada kondisi saat itu, rekayasa semacam ini tak bisa disalahkan, bahkan walaupun saya tidak terlibat, secara obyektif saya menilai Ali Moertopo sangat besar jasanya, bahwa rekayasa-rekayasa yang dilakukan oleh Ali Moertopo memang amat diperlukan. Operasi semacam itu dimaksudkan untuk menata kehidupan politik, khususnya menyangkut pembenahan infrstruktur politik (untuk mendobrak infrastruktur politik yang berorientasi pada ideologi dan golongan yang dianggap tidak sesuai lagi dengan pola yang diperlukan bagi pembangunan), termasuk organisasi-organisasi kemasyarakatan dan fungsional. Lha, bagaimana Pak Harto sebagai pemegang SP-11 mampu melaksanakan tugasnyakalau MPR/DPR-nya masih dominan Nasakom? Tentu tidak mungkin. Seperti PNI, walaupun partai tersebut anti-PKI tetapi PNI ada masalah dengan Bung Karno karena memiliki hubungan dekat dengan Bung Karno. Waktu itu PKI juga meniupkan isu bahwa Angkatan Darat mau mengadakan kup terhadap Bung Karno. Akibatnya PNI bukan main curiganya terhadap Angkatan Darat, termasuk kecurigaan yang datang dari angkatan-angkatan lain yaitu Angkatan Laut, Angkatan Udara, maupun Polri.
Tidak dapat disangsikan lagi, Ali Moertopo adalah tokoh yang berperanan amat penting dalam sukses Golkar pada pemilihan umum 1971, sekaligus membuat pamornya naik di mata Pak Harto. Ia adalah tokoh yang mendapat tugas langsung dari Pak Harto untuk suatu tugas conditioning, dalam konteks pengamanan Pancasila dari bahaya kekuatan ekstrim mana pun. Sejarah kemudian mencatat Opsus-nya Ali memainkan peranan yang menonjol dan disegani sekaligus ditakuti dan dibenci lantaran dianggap sebagai sesuatu kekuatan yang ingin memaksakan kehendak.
Kendati tidak bisa dielakkan timbulnya rasa sakit dan luka di mana-mana, saya akui jasa Ali (dalam konteks tugas conditioning) amatlah besar bagi perjuangan Orde Baru dalam mengamankan Pancasila.
Kecuali lembaga studi tertentu [tds], lembaga kedua yang diperkuat oleh Ali Moertopo adalah Opsus, yang kelak terlihat gejala-gejala semakin berfungsi sebagai intelijen di samping intelijen resmi yang telah ada. Semula, pada permulaan Orde Baru, Opsus mesti diakui bermanfaat dalam menggalang reformasi politik (political reform) guna memperkuat poros Pancasila dan menetralisasi kekuatan Nasakom melalui rekayasa-rekayasa terhadap semua orsospol dan organisasi kemasyarakatan dan profesi.(tds = tambahan dari saya: yang dimaksud lembaga studi tertentu adalah CSIS)
Selain berfungsi intelijen, Opsusmenjadi tempat untuk pengembangan disinformation system yang secara vertikal ditujukan untuk memberi pengaruh kepada penciptaan opini dari pusat pengambilan keputusan politik (centre of political power), yaitu Pak Harto. Manipulasi informasi oleh Opsus ini juga membawa pengaruh secara horizontal ke berbagai lapisan masyarakat dan lapisan kelembagaan. Disinformation system antara lain melahirkan suatu tindakan yang bersifat represif berikut praktek-praktek menghilangkan jejak dengan cara macam-macam.Ali kelihatan sangat antusias menjalani kehidupan dan petualangan intelijennya. Sebagai Komandan Opsus, ia mengembangkan organisasi tersebut menjadi organisasi intelijen partikelir dengan mengambil alih fungsi-fungsi intelijen dari Bakin (Badan Koordinasi Intelijen). Tersadap kemudian bahwa ia memiliki ambisi-ambisi untuk mencapai posisi puncak di dunia intelijen. Ini merupakan perkembangan menarik dari pribadi seorang Ali Moertopo mengingat ia sebelumnya tidak dikenal berkecimpung dalam intel. Maka ketika ia di Opsus, saya menyebutnya sebagai intel palsu. Intel yang asli adalah Jenderal Sutopo Juwono atau Jenderal Yoga Sugama.
(Saya kurang mengetahui apakah Ali Moertopo pernah mendapat pendidikan intelijen, entah itu di dalam atau di luar negeri. Hanya dengar-dengar ia pernah sebentar belajar intelijen di Bogor pada sekitar tahun 1950-an). [tds](tds = tambahan dari saya: yang di Bogor untuk pendidikan dasar, sedangkan yang baru-baru ini diresmikan Megawati adalah sekolah intel untuk tingkat lanjutan, berlokasi di BATAM, diresmikan 9 Juli 2003 lalu).
Bidang garapan Opsus sangat luas meliputi aspek ekonomi, intelijen, sampai melaksanakan penyelundupan bear-besaran. Tahun 1970-an organisasi ini pernah melakukan penyelundupan besar-besaran agar barang di dalam negeri menjadi murah. Waktu itu menjelang lebaran, beberapa kapal masuk dari Singapura menyelundupkan tekstil dan baju jadi.Di Opsus, Ali Moertopo memiliki sejumlah orang kepercayaan. Tangan kanan Ali di bidang keuangan adalah Kolonel Ngaeran dan Kolonel Giyanto bagian “grasak-grusuk” cari uang. Saudara Giyanto dikatakan yang tahu di mana disimpannya uang-uang Opsus di luar negeri. Bidang operasi Kolonel Sumardan, sementara Kol. Pitut Soeharto bidang penggalangan politik Islam seperti menggarap PPP, NU, dan bekas DI. Di bagian pembinaan umat Islam ini, Pitut membina umat yang belum tergabung dalam suatu organisasi atau mereka yang masih liar. Bekas-bekas Darul Islam, umpamanya, itu urusan Pitut.
Sebagai gambaran mengenai sepak-terjang unsur-unsur Opsus, seorang bekas sejawat Pitut belakangan mengatakan, “Saya tidak senang dengan cara main Pitut, sebab bisa hancur sendiri. Ia terlalu banyak manuver, membohongi orang di sana-sini, tak malu walau ketahuan, air mukanya tetap biasa saja. Saya tidak mau begitu, nanti tidak punya sahabat. Buktinya sekarang, saat sudah bukan apa-apa lagi maka orang enggan menemuinya, sekadar menengok sekalipun.”Mengikuti pola di dalam pengorganisasian intelijen, keanggotaan Opsus terbagi dua, di samping ada anggota organik (member of the organization) juga terdapat anggota jaring (member of the net). Anggota jaring kurang terikat, bila suatu proyek selesai maka bubar pula mereka, karena yang ada di sini biasanya dengan motivasi mencari uang atau sekedar advonturisme.Yang termasuk anggota organik Opsus antara lain Pitut Soeharto, Letkol Utomo, Utoro SH. Sedangkan yang tergolong anggota jaring ialah Bambang Trisulo, Leo Tomasoa, Lim Bian Koen, Liem Bian Kie, Monang Pasaribu, Daoed Joesoef, dr. Suryanto, dan banyak yang lainnya lagi.
[tds](tds = tambahan dari saya: Daoed Joesoef adalah salah seorang pendiri CSIS, dan ketika menjadi Menteri Pendidikan menerbitkan peraturan tidak libur selama Ramadhan, juga merubah tahun ajaran baru dari Januari ke Juli. Liem Bian Khoen dan Liem Bian Khie adalah kakak beradik yang bernama Sofyan Wanandi dan Yusuf Wanandi. Sofyan Wanandi sejak awal Orde Baru menjadi pengusaha, ketika Habibie menjadi presiden, ia sangat kritis. Yusuf Wanandi tetap di CSIS sampai kini).
Abdul Gafur disebut-sebut sebagai salah seorang bekas anggota jaring Opsus dan sempat dekat dengan lembaga studi tertentu, namun belakangan renggang.Dana untuk Opsus besar sekali dan nyaris tak terbatas, entah dari mana dapatnya, di samping dari “usaha” sendiri yang dilakukan oleh para anggota organisasi, Soedjono Hoemardani juga biasa “mengusahakan” pendanaan bagi Opsus. Jadi kalau sepintas terlihat bahwa Opsus begitu kuat, antara lain berkat kuatnya dukungan pembiyaan. Berapa persisnya anggaran Opsus, kita tidak pernah tahu, tapi yang jelas di bawah Ali Moertopo organisasi tersebut kelihatan kaya-raya dan dana mereka jauh lebih banyak dari yang dipunyai oleh intel Kopkamtib misalnya.
http://swaramuslim.net/more.php?id=457_0_1_0_M

No comments: